Presiden pertama Republik Indonesia sebagai seorang guru besar dan teladan
bagi kita, semangatnya dan perjuangannya untuk membentuk negara kesatuan
Republik Indonesia.
Berikut ini adalah biografi beliau
Presiden Pertama NKRI, Ir. Soekarno, kerap di panggil dengan sebutan Bung
Karno, nama kecilnya adalah Kusno. Beliau lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901,
dan wafat di Jakarta
tanggal 21 Juni 1970, dengan gelar sebagai Pahlawan Proklamator.Jabatannya sebagai Presiden RI dari tahun
1945 -1966. Beliau memiliki tiga orang istri dan delapan orang anak, yaitu
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati ( sebagai Presiden RI yang Ke 5 ), Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Nama Ayah Beliau adalah Raden Soekemi Sosrodihardjo, dan Ibu bernama Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Ajaran:
Marhaenisme
Kegiatan Politik:
Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
Berdiri di Atas Kaki Sendiri
Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.
Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat
menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju
kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang
berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini
bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut
ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa
membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram
hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang
kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara
miskin).
Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno,
ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun
dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang
diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi
kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang
membuatnya makin terbelakang.
Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan
semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya,
walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang
sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan
tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa.
Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan
ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).
Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat
kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat,
ia tinggal di Surabaya,
indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri
Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger
School). Saat belajar di
HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS
tahun 1920, ia pindah ke Bandung
dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi
yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan
mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan
Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara
Sukamiskin, Bandung
pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam
pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia
menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah.
Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno
bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali
ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores,
tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang,
Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya
mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955
yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis
politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh
mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana
politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada
Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan
Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan
Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa
serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak
pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso,
Jakarta.
Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia
meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur
di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar
Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur,
Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak
yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang
bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.
Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku
besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah
rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu
ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.
Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena
langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa
dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini
tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang
memuat sepak terjangnya.
Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan
ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah
dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan
judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan
paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai
Soekarno.
Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut
tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me,
Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting
sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya,
seorang pemuda berumur 26 tahun.
Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan
penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan
kesepian dan tak suka tempat tertutup.
Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa
kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno,
Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku
tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon
seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri
Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan
padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang
apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah….
Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu
lelah.”
Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara
keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang
terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu…
Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”
Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami
lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah
berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan
itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika
jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih
berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?”
pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras
menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap
negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).
Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan
sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada
periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah
jelas dikedepankannya.
Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari
pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata
dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.
Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya
dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun
ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.
Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain
mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926)
menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya
menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau
nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan,
gagasannya mengenai Pancasila.
Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila
itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam
(Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan,
Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh
syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’
allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah
salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai
dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan
negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab
menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”.
Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada
presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum
tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya,
mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel
kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam
negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum
santri.
Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno?
Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima
agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima
agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak
memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford
Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius
Soekarno adalah gaya
Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah
mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti
Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah
hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ
Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan
perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi
penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk
menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis
sebagai bidah”.
Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam
berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada
gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu
konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor
politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan
sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik.
Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.
Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh
ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer.
Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik
yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar,
Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-
hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah
dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem
parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang
dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa
integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis,
yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada
partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam
beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Bung Karno sebagai Guru Bangsa
Oleh Baskara T Wardaya
Di antara banyak predikat yang telah diberikan
kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada peringatan ulang tahunnya yang ke-102
ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa. Sebagai pencetus maupun komunikator,
banyak pemikiran penting telah menjadi sumbangan pendidikan tak terhingga bagi
negara-bangsa ini.
Layaknya seorang guru yang cakap, ia mampu
menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan lancar, penuh imajinasi, dan
komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang sebenarnya berat menjadi
gampang dicerna, mudah dipahami masyarakat luas.
Ingat, misalnya, saat secara berkala pada tahun
1958-1959 ia memberikan rangkaian “kuliah” guna menjelaskan kembali sila demi
sila dari Pancasila sebagai dasar negara, masing-masing satu sila setiap
kesempatan “tatap muka.” Pada 26 Mei 1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi
kuliah tentang pengertian umum Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan
tentang berbagai bentuk kapitalisme dan perlawanan terhadapnya, ia menekankan
bahwa Pancasila bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat
pemersatu bangsa.
Kuliah pembukaan itu disusul kuliah-kuliah serupa
lain yang biasanya diadakan di Istana Negara dan disiarkan langsung melalui
radio ke seluruh penjuru Tanah Air. Berbeda dengan pidato-pidato Bung Karno di
depan massa
yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kuliah-kuliah ini berjalan
lebih rileks dan komunikatif.
Dengan kuliah-kuliah itu tampaknya Bung Karno
ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan tempat sangar atau sakral
yang hanya boleh dimasuki presiden dan pejabat maha penting negeri ini, tetapi
Istana milik rakyat, tempat masyarakat belajar mengenai banyak hal, termasuk
dasar negara. Ia ingin menjadikan Istana (dan mungkin Indonesia umumnya) sebagai “ruang
kuliah” di mana terselenggara proses belajar-mengajar antara masyarakat dan
pemimpinnya.
Teori dan praksis
Dari teori-teori filsafat dan politik serta
acuan-acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak
pengetahuan Soekarno amat luas dan dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang
ia menyitir pikiran Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia
seolah ingin menunjukkan dan memberi contoh, tiap warga negara perlu terus
memperluas pengetahuannya. Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang
teknik, namun amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah,
politik, dan agama.
Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno menyinggung
kembali pertemuan dan dialognya dengan petani miskin Marhaen. Dialog sendiri
sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia masih mampu mengingat dan
menggambarkan amat jelas. Ini menandakan, Soekarno menaruh perhatian pada
perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat jelata, dan ingin menjadikannya sebagai
titik tolak perjuangan bersama guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan
dan ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai
perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong.
Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka
hanya berkutat di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas
kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan
“buku” dengan “bumi,” menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas
keseharian manusia Indonesia
yang sedang ia perjuangkan.
Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan
praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya
dari pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun sesudahnya.
Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju
atau tidak dengan uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang
Soekarno: ia bukan seorang pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka
menduduki posisi-posisi tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang
rakyat atau menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.
Perjuangan Soekarno adalah perjuangan tulus, yang
disegani bahkan oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya. Karena itu, tak
mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di bawah
pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat pemerintah di
zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong menjual sumber-sumber
alam milik rakyat.
Absennya guru-guru lain
Bagaimanapun juga, sebagai seorang manusia Bung
Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara,
misalnya, ia tampak “menikmati” posisinya sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan
diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai
presiden seharusnya ia menyadari kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat
sejauh rakyat memberi mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan
tertentu.
Rupanya Bung Karno tidak terlalu menghiraukan hal
itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia
tidak menolak.
Sebagai seorang guru yang memandang negerinya
sebagai sebuah “ruang kuliah” raksasa dan rekan-rekan sebangsanya sebagai “murid-murid”
yang patuh, terkesan Bung Karno tak memerlukan adanya “guru-guru” lain. Ia tak
keberatan akan keberadaan mereka, tetapi-sadar atau tidak-”gaya mengajar”-nya mendorong tokoh-tokoh lain
yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau
tersingkir.
Kita belum lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung
Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga masih ingat
bagaimana orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan
Malaka, Moh Natsir, dan lainnya-satu per satu menjauh darinya.
Pada pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung
Karno yang begitu besar kepada posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari
bahwa dampak Perang Dingin telah kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam
Pemilu 1955 dan pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar
mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap
Indonesia.
Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut
kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia.
Di lain pihak, bagi AS dan sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan
mereka bahwa Indonesia
akan “lepas” dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino,
lepasnya Indonesia
akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun
dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah
antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung Karno sadar,
tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan ratusan ribu rakyat
yang ia cintai dibantai secara terencana dan brutal.
Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya guru
bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun wafat
sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang kemerdekaannya
dengan gigih ia perjuangkan.
Akhir hidup Bung Karno memang memilukan. Tetapi
ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting untuk
negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya dari apa yang dikatakan,
tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan kelemahannya. Kita berharap
kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus belajar dari sejarah, termasuk dari
Bung Karno sebagai guru bangsa.
sungguh memang memilukan hati, wafatnya Pahlawan
Proklamator sekaligus Presiden Pertama RI, Bapak Ir. Soekarno harus wafat
sebagai tahanan politik yang miskin di negeri yang dia perjuangakan dengan
hati, pikiran dan tenaganya.
” sebagai bangsa yang besar seharusnya menghargai
jasa para pahlawannya “